"Seulamat Ka Neupiyoh Bak Lon Tuan Syedara-syedara Bangsa Atjeh"


Saleum meuturi keu syedara-syedara meutuah saboh indatu u ban sigom donya

Senin, Februari 28, 2011

Nasib Putra Mahkota Keturunan Sultan Acheh Terakhir


SEJARAH Sultan terakhir Kerajaan Aceh Darussalam. Kali ini, mengulas kegetiran Tuanku Raja Ibrahim putra Mahkota Kerajaan Aceh yang boleh dikatakan dia hidup luntang lantung bersama ayahnya Sultan Muhammad Daudsyah (1878-1939).

Riwayat getir kehidupan pejuang Aceh ini bermula ketika K Van Der Maaten menyandera dan menangkap ibunya pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid. Saat itu, Ibrahim berusia enam tahun ketika disandera di Gampong Glumpang Payong Pidie. Gubernur Sipil dan Militer van Heutsz mengultimatum; “ika dalam sebulan Sultan menolak menyerah, maka anak dan istrinya dibuang dari Acehh.”

Sultan yang berada di Keumala turun menghadap Belanda pada 10 Januari 1903 setelah bermusyawarah dengan para penasihatnya. Pada 20 Januari 1903, Sultan dibawa ke Kuta Radja (Banda Aceh) untuk dipertemukan. Dalam pertemua dengan Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz, Sultan menandatangani nota perdamaian dengan Belanda. Pada 24 Desember 1907 Pemerintah Hindia Belanda membuang Sultan, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Ambon.

Hingga tahun 1918, mereka dipindahkan ke Batavia dan menetap di Jatinegara. Sultan meninggal di sana pada 6 Februari 1939 tanpa pernah bisa kembali ke Aceh. Parahnya seluruh kekayaannya dirampas dan dijadikan milik colonial Belanda sesuai dengan asas hukum perang Reght van Over Winning (H.C. Zentgraaff:1981 ).

Anak Sultan Muhammad Daud Syah yang sulung, Tuanku Raja Ibrahim, kehidupannya cukup beragam. Misalnya ke Belanda karena Ratu Wilhelmina ingin berjumpa dengan sang Raja Muda ini. Ratu kemudian memberinya pangkat letnan kepada Tuanku Raja Ibrahim. Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus jenderal Shaburo I I no dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh Muhammad Daudsyah. Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943. Atas dasar Kaisar Jepang teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat Tsushima. Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daudsyah dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir hayatnya.

Pangeran muda ini menjadi kawan dekat Seokarno waktu kecil. Saat itu, Soekarno memanggilnya “Bram” bahkan salah satu nama anaknya sama dengan nama salah satu anak Soekarno “Sukmawati.”Namun ketika Soekarno menjadi penguasa di Indonesia pada masa orde lama. Dia melupakan Tuanku Raja Ibrahim pada teman seperjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Agaknya ada kekhawatiran Soekarno bahwa sang pangeran ini menuntut pemulihan haknya semisal Yogyakarta yang secara penuh mendapatkan berbagai “keistimewaan” hingga hari ini. Dapat dikatakan bahwa ayah Megawati ini tidak hanya berkhianat Tuanku Ibrahim, tetapi dengan rakyat Aceh. Sukarno tidak menepati janjinya yang diucapkan di depan Teungku Daud Beureueh dan teman-temannya pada 1948. Akibatnya Daud Beureueh kecewa dan menuntut Soekarno dengan pemberontakan berdarah yang diproklamirkannya pada 21 September 1953.

Sulthan Muhammad Daud Syah

Sang Raja Muda ini terus menemani ayahnya di Jakarta dan pulang ke Aceh pada tahun 1937 padahal ayahnya melarang. Di tanah kelahirannya, raja muda ini kawin dengan Pocut Hamdah Putri Amponsyik Keumangan Beureunuen. Mereka dikarunia dua putri. Ada beberapa istrinya dan terakhir dengan Pocut Manyak yang dikaruniai empat putera/puteri. Jumlah anak seluruhnya yaitu 16 orang anaknya. Dan bekerja sebagai Mantri tani di Pidie dan pensiun pada tahun 1960.

Walaupun putra makhota, hidupnya sangat sederhana karena seluruh harta pribadi ayahnya dirampas oleh Belanda dan pembesar pembesar Aceh yang bekerjasama dengan Belanda. Putra Sang Raja ini, menetap di sebuah perkampungan kecil Lampoh Ranup, Lamlo Pidie, dan hidup dari uang pensiun Rp 9.000 dengan 16 anaknya (Majalah Tempo, 1976). Tentu ini sangat berbanding terbalik dengan keturunan yang pernah bekerja sama dengan Belanda. Dimana mereka menikmati sekian pengaruh dan keistimewaan di dalam kehidupan sehari-hari.

Pada pertengahan tahung 1975 atas inisiatif Tuanku Hasyim, SH (Kepala Kaum Alaidin) dan Tuanku Abbas, BA (mantan Kepala DEPPEN RI di Banda Aceh) menjemput tuanku Raja Ibrahim dan keluarga dari Kota Bakti dibawa ke Banda Aceh. Kemudian atas jasa dan bantuan Gubenur Daerah Istimewa Aceh Muzakir Walad dan dukungan anggota DPRD Waktu H. Yahya Luthan. Pemerintah Aceh meminjami rumah hak pakai tipe 45 di Jl. Teungku Cot Plieng No 18 dengan Surat Keputusan No 100/1976 dengan ketentuan rumah tersebut ditempati selama hidup beliau.

Pada tahun 1975, Sultan Hamengkubuwono IX ikut prihatin pada nasib Tuanku Raja Ibrahim. Dengan menggunakan pengaruhnya dia berusaha agar ada tambahan pendapatan bagi Tuanku Raja Ibrahim. Akhirnya, Tuanku mendapat tambahan Rp 5.000 dari Pemda dan Rp 1.500 dari Departemen Dalam Negeri. “Bila saya telah tiada, rumah ini harus dikembalikan”, ujar Abang. “Eh, toh, semua itu saya terima” (Majalh Tempo 1976).

Semasa hidupnya, menurut anaknya Tuanku Raja Yusuf, mempunyai satu keinginan yang belum terlaksana yakni ke Jakarta menziarahi makam sang ayah Sultan Muhammad Daudsyah. Tetapi karena kehidupan ekonomi yang begitu sulit, sang cita-cita pangeran ini tidak kesampaian sampai menemui azalnya pada 31 Maret 1982. Dia dimakamkan di pemakaman keluarga raja-raja di Baperis. Tuanku Raja Ibrahim meninggalkan 16 anaknya yakni Tengku Putri Safiatuddin, Teungku Putri Kasmi Nur Alam, Tuanku Raja Zainal Abidin, Tengku Putri Rangganis, Tuanku Raja Ramaluddin, Tengku Putri Sariawar, Tuanku raja Mansur, Tuanku Raja Djohan, Tuanku Raja Iskandar, Tengku Putri Sukmawati,Tuanku Raja Syamsuddin, Tuanku Raja Muhammad Daud, Tuanku Raja Yusuf, Tuanku Raja Sulaiman, Teungku Putri Gambar Gading, Tuanku Raja Ishak Badruzzaman.

Begitulah sekilas kisah getir seorang Raja Muda yang saat ini rakyat Aceh hanya bisa berbangga-bangga; ketika para peneliti bangga dengan sejarah kerajaan Aceh Darussalam, namun namun tidak memiliki apresiasi yang ternyata ujung keturunan Sultan Aceh begitu pahit. Kekuasan dan harta yang dirampas dan hidup mereka hanya berlapiskan rasa iba dari pihak yang kasihan.

Tampaknya kisah raja terakhir ini pun bisa dianalogkan pada nasib Aceh dewasa ini, yaitu merasa perlu
dikasihani. Dimana pengkhianatan dan pelecehan kekuasaan adalah bukti kelemahan kerajaan Aceh. Raja Aceh tidak hanya dikhianati oleh Eropa tetapi juga oleh bangsanya sendiri. Tentu, kita tidak ingin menjadikan ini sebagai isu kemana kita mencari pemimpin sekarang. Sebab siapapun yang akan atau sedang memimpin Aceh, pasti akan mendapatkan sikap-sikap pengkhianatan atau pelecehaan kekuasaan setelah mereka tidak berkuasa. Kisah pahit keluarga Sultan menjadi lecutan sejarah kepemimpinan Aceh. Bedanya, Tuanku Ibrahim masih menyisakan semangat kepemimpinan Aceh. Inilah yang membuat rakyat Aceh bersatu dan bangga untuk.menjadi sebuah .



Rabu, September 09, 2009

Sejarah Keagungan Bangsa Acheh

Allah SWT di dalam al-Qur’an telah memperingatkan kaum Muslim akan tindakan orang-orang kafir dan munafik yang tidak akan berhenti memerangi dan mendatangkan fitnah sehingga mereka mau mengikuti ajaran atau millah, pola hidup, pandangan orang-orang kafir. Dengan berbagai tipu daya, kafir dan munafik akan berusaha mengkerdilkan, mendiskreditkan bahkan membalik fakta dengan berbagai teori yang mereka rekayasa agar kaum Muslim asing dengan dirinya atau nenek moyang serta tradisi dan sejarah keagungan mereka. Coba kita membaca kembali sejarah Islam di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan sejarah perkembangan Islam di Acheh. Sejak sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi kita selalu dihadapkan dengan pengkaburan, penyesatan bahkan penipuan demi penipuan yang dilakukan oleh para orientalis kafir dari Spanyol, Pertugis, Belanda dan lainnya yang diikuti oleh antek-anteknya.
Kaum kafir dan antek-anteknya sangat faham akan pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa. Sejarah adalah ibarat nenek moyang bagi seorang manusia, jika tidak mengetahui siapa dan bagaimana nenek moyangnya, maka anak manusia inipun akan kehilangan jati dirinya. Itulah sebabnya Islam menganjurkan agar para pengikutnya mengetahui nasab mereka dan mentauladani perjuangan agung nenek moyang mereka, sebagaimana Muhammad Rasulullah yang selalu bangga dengan nenek moyang beliau Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang menjadi bapak bangsa Arab yang telah berhasil menggerakkan pembebasan dan pembangunan peradaban dunia dengan Islam. Maka alangkah naifnya, jika sebuah bangsa tidak mengetahui atau keliru tentang asal usul dan sejarah mereka.
Inilah yang telah dilakukan para bangsa penjajah, baik Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda dan penjajah-penjajah kafir lainnya. Setelah mereka menjajah sebuah bangsa, maka sejarah bangsa itu akan dihilangkan, dikaburkan dan dimanipulasi, sehingga generasi muda terpisah dengan sejarah dan tradisi nenek moyang mereka dengan segala keagungannya. Pada saat yang sama si penjajah menggantikan dengan sejarah yang mereka rekayasa, dengan maksud agar anak bangsa ini merasa rendah diri dan senantiasa mengangungkan penjajahnya. Itulah sebabnya peninggalan peradaban bangsa-bangsa Muslim yang menunjukkan keagungannya diboyong ke negaranya atau dimusnahkan agar tidak dapat dikenali lagi oleh generasi muda. Akibatnya generasi muda bangsa terjajah inipun tidak mengenal lagi keagungan tradisi dan peradaban mereka dan akhirnya tidak menimbulkan kebanggaan sebagai pewaris peradaban bangsanya.
Keagungan sejarah dan peradaban kaum Muslimin Nusantara yang telah berkembang pesat dalam bentuk pemikiran, budaya, seni, pengetahuan serta teknologi dinisbikan. Kaum Muslim sebelum kedatangan imperialis kolonialis kafir ini digambarkan sebagai sebuah bangsa primitif yang bar-bar, bertelanjang seperti orang Papua pake koteka dan perempuan kelihatan teteknya, yang kadang-kadang disorongkannya kepada babi peliharannya untuk menetek bersama anaknya. Bangsa Muslim yang sudah kosmopolit dan berhubungan dengan pusat peradaban di Mesir, Parsia ataupun Cina ini digambarkan sebagai bangsa sejenis monyet yang mereka juluki sebagai bangsa moor, yang masih melekat sampai saat ini kepada Muslim di Mindanau sebagai bangsa Moro. Seakan-akan kedatangan mereka yang menindas dan serakahlah yang telah menjadikan bangsa Muslim ini maju, padahal kenyataannya merekalah yang telah menghancurkan peradaban, memecah belah, mengadu domba, mengeksploitasi alamnya, memperbudak dan membodohi masyarakatnya, yang telah mengantarkan bangsa Muslim kembali pada titik terendah peradabannya.
Hal inilah yang telah dilakukan penjajah kafir terhadap bangsa-bangsa Muslim di Asia Tenggara, terutama di Acheh. Karena dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim Melayu lainnya, Acheh adalah pusat Islamisasi terawal di kawasan ini, dan menjadi bangsa Muslim pertama yang memerangi penjajah kafir dan antek-anteknya dengan semangat jihad fie sabilillah, menjadi benteng utama pertahanan Islam yang tidak pernah ditaklukkan penjajah kafir dan mampu mempertahankan wilayah kekuasannya dengan perjuangan yang penuh herois, sehingga mendatangkan kerugian yang besar kepada penjajah Belanda kafir sebagaimana dinyatakan petinggi Belanda Paul Van ’t Veer, dalam De Acheh Oorlog; "Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda"
Para ahli sejarah, terutama yang selalu mengutip pendapat intelektual penjajah kafir, dan ironisnya menjadi materi pada literatur resmi pemerintah sejak sekolah menengah sampai perguruan tinggi, menyatakan bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara pada abad ke 12an Masehi dan Kerajaan Pasai yang berdiri pada awal abad ke 13 M dinyatakan sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara berdasarkan catatan perjalanan Marcopolo atau Ibnu Batutah. Meurah Silu yang terkenal dengan Sultan Malikus Salih digambarkan sebagai seorang muallaf yang baru masuk Islam setelah berkuasa, padahal silsilah beliau membuktikan bahwa nenek moyangnya berhubungan dengan keturunan Rasulullah melalui Imam Ja’far Shadiq. Tindakan pengkaburan ini dilanjutkan dengan pernyataan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) yang terkenal sebagai pusat Islamisasi awal di Nusantara berada di Komboja dan tidak memiliki hubungan historis dengan Kerajaan Islam Acheh Darussalam, Kerajaan Islam Pasai ataupun Kerajaan Islam Perlak yang selanjutnya berperan sebagai pusat utama Islamisasi di alam Melayu Nusantara, termasuk Jawa. Padahal bukti-bukti menyatakan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) sebagaimana dinyatakan Raffless berada di Acheh, atau di sekitar daerah Peudada kabupaten Bireuen saat ini.
Maka untuk mencapai sebuah renaisans, kebangkitan kembali Acheh dengan segala keagungan dan kegemilangannya, sejarah muram Acheh yang dicitrakan para penjajah dan antek-anteknya harus didekonstruksi, dihancurkan berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan yang akan dianalisis bagian demi bagian secara detil. Dari hasil dekonstruksi inilah, sejarah Acheh direkonstruksi, dibangun kembali bagian demi bagiannya sebagaimana citra sebenarnya agar dapat menjadi spirit kebangkitan kembali yang dicita-citakan. Deconstruction for reconstruction.
2. Dekonstruksi Kegemilangan Acheh Pra-Islam
Para kolonialis Barat dengan segala ambisinya sebagai penjajah telah merancang berbagai strategi untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai masyarakat yang bodoh, tertinggal dan tidak memiliki harkat dan martabat. Salah satu cara efektif yang dilakukannya adalah dengan memotong sejarah peradaban bangsa yang dijajahnya. Peninggalan-peninggalan agung nenek moyang mereka dibawa kabur, dirampok bahkan dihancurkan agar generasi muda tidak memiliki jati diri lagi. Itulah sebabnya bangsa-bangsa penjajah, baik Inggris, Pertogis maupun Belanda telah membawa semua bukti peninggalan kegemilangan Islam Nusantara ke Eropa dengan alasan pengembangan pengetahuan.
Selanjutnya mereka menjalankan politik belah bambu dan pecah belah lalu menguasai. Sebagaimana yang mereka telah lakukan di Nusantara. Bangsa Muslim Nusantara dipecah belah dengan pendekatan kesukuan dengan meniupkan fanatisme jahiliyah menggantikan ghirah Islamiyah. Bangsa yang tidak mau takluk dibawah jajahannya, diadu domba dengan saudaranya, seperti penjajah kaphe ini mengadu domba bangsa Padang dengan bangsa Acheh yang sama-sama diketahui sebagai pilar Islam Nusantara. Bangsa Padang direkrut menjadi tentara Belanda yang terkenal dengan Pasukan Marsose, lalu mereka diperintahkan untuk memerangi bangsa Acheh yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Terjadilah pertumpahan darah sesama Muslim, yang satu menjadi antek kaphe Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang berjihad melawan kezaliman Belanda. Berapa banyak mujahidien fie sabilillah di Acheh yang dibantai pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda Muhammad Syarief, tokoh Padang yang akhirnya mendapat medali penghargaan tertinggi dari Ratu Belanda karena berhasil membantai saudara Muslimnya di Acheh.
Masyarakat Nusantara yang sudah tumbuh berkembang dengan keagungan peradabannya sejak beribu-ribu tahun lalu, digambarkan oleh para sejarawan kolonial sebagai sebuah bangsa bar-bar, nomaden, seperti keadaan orang-orang Papua di Lembah Baliem saat ini, yang telanjang dan tinggal di pohon-pohon. Padahal kenyataannya sangat jauh berbeda. Karena masyarakat Nusantara adalah salah satu rumpun bangsa tua yang telah berhasil membangun sebuah entitas budaya dan peradabannya sendiri, sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dari penemuan peninggalan-peninggalan situs sejarah dan benda-benda yang menyertainya dapat diketahui bahwa di Acheh pernah tumbuh berkembang sebuah peradaban yang digerakkan oleh Raja dari Kerajaan-Kerajaan Hindu seperti Kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra Patra dan lain-lainnya.
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemeus menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi. Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke "tanah yang Kami berkati atasnya" (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King Solomon.
Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut "jalur sutra" (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan .
Ini artinya peradaban Acheh adalah diantara peradaban tua di wilayah Nusantara. Namun belum banyak bukti yang dapat dikemukakan tentang kegemilangan masa lalu peradaban Acheh, yang menurut beberapa penelitian para ahli disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (i) belum diadakannya menggalian terhadap situs sejarah purba secara serius dan menyeluruh akibat pertimbangan politik ataupun konflik berkepanjangan (ii) hilangnya situs-situs penting, terutama dipinggir laut akibat terjadinya beberapa kali gelombang tsunami, sebagaimana tsunami 26 Desember 2004 lalu yang menghancurkan kota-kota purba Acheh yang umumnya dipinggir pantai yang berhadapan langsung dengan tsunami (iii) adalah menjadi tradisi sebagian masyarakat Acheh untuk memusnahkan peninggalan sejarah apabila sudah tidak dikehendaki penguasanya, contoh terdekat adalah pembakaran buku-buku ilmiyah karya Hamzah Fansuri dan ulama aliran Wujudiyah di depan Masjid Baiturrahman atas perintah Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa Syekh Nuruddin al-Raniri, atau pembakaran Istana Super Megah yang didirikan Sultan Iskandar Muda, Darud Dunya akibat terjadinya pemberontakan pada masa Sultanah Inayat Syah. Dan terakhir adalah bumi hangus Istana pada zaman Sultan Muhammad Daud Syah agar jangan sampai dikuasai penjajah Belanda.
Keadaan revolusioner dan dinamis yang terjadi di Acheh dari waktu ke waktu sepanjang 500 tahun terakhir telah memecah konsentrasi para pemimpin dan cendekiawan Acheh dalam memelihara peninggalan sejarahnya sehingga banyak yang terbengkalai, hilang, musnah bahkan sengaja dihilangkan dengan alasan keamanan. Penulis beberapa kali mendapatkan alasan ketakutan nara sumber yang memiliki peninggalan berharga berupa manuskrip penting, karena jika diketahui aparat akan diambil dan mereka dituduh sebagai pemberontak atau sparatis. Akibatnya banyak manuskrip-manuskrip penting peninggalan peradaban Acheh tertanam atau hilang.
Namun demikian, dari sumber-sumber sekunder dapat diketahui kembali, walaupun masih tingkat awal mula, tentang sejarah kegemilangan Acheh, terutama pada masa pra-Islam. Data-data tersebut sangat penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat peradaban dan pengetahuan masyarakat Acheh pra-Islam, baik zaman pra-Hindu-Budha ataupun sebelumnya. Mengingat letak geografi Acheh yang strategis sebagai laluan dalam perjalanan menuju pulau Jawa atau Timur Jauh lainnya dari sumber peradaban tua umat manusia, baik di sekitar Asia Tengah, Timur Tengah ataupun Afrika. Karena di Jawa atau Kalimantan banyak ditemukan peradaban manusia yang telah berusia ratusan ribu tahun.
Dari sumber-sumber sekunder, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ternyata Acheh memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban manusia. Salah satu bukti otentik yang tidak diragukan adalah perjalanan kapur Barus yang telah menembus peradaban Yunani, Rumawi sampai Mesir klasik. Produk unggulan Barus-Acheh ini telah menjadi komuditas primadona dunia yang tinggi nilainya, sehingga megantarkan Acheh sebagai salah satu bagian dari kegemilangan dan ketinggian peradaban klasik pra-Islam. Tentunya kedatangan manusia-manusia modern pada zaman itu ke Acheh telah membawa perubahan pada pengetahuan dan kebiasaan masyarakat, sebagaimana pengaruh kedatangan para relawan asing manca negara saat ini ke Acheh yang membawa berbagai bentuk pengetahuan, ilmu, budaya dan peradaban yang mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kedatangan mereka sudah pasti akan membawa kemajuan dan kemakmuran kepada masyarakat Acheh, dan tidak diragukan bahwa kemakmuran akan mengantarkan kegemilangan peradaban umat manusia seperti apa yang dialami negara-negara maju seperti Amerika, Eropa maupun Jepang, India dan Cina saat ini.
Kegemilangan masyarakat Acheh yang telah berkembang pesat sebelum kedatangan Islam dengan pencapaian-pencapaian peradabannya telah memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal. Karena lebih mudah mengajarkan Islam yang sempurna dan menyeluruh kepada orang-orang yang berperadaban, berpengatahuan dan menggunakan akalnya untuk berfikir. Itulah sebabnya, saat ini para pendakwah kita lebih mudah menyebarkan Islam kepada masyarakat modern di Amerika, Eropa ataupun Jepang dari pada masyarakat di pedalaman Papua atau Kalimantan yang masih hidup telanjang dan jauh dari peradaban. Sebagaimana tersebar cerita dikalangan pendakwah, jika di Eropa orang-orang bule cerdik-pandai berlomba-lomba meninggalkan gereja dan masuk Islam karena alasan rasional dan sesuai dengan perkembangan zaman, tapi di negeri ini orang-orang bodoh dan tolol bisa diajak masuk gereja karena sebungkus super mie. Sungguh benar sabda Rasul, kebodohan akan membawa kemiskinan dan kemiskinan akan menjadikan orang mudah kepada kekafiran.
Masuknya Islam telah mengantarkan masyarakat Acheh sebagai bagian dari pergerakan internasional pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya sebagai masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Acheh, baik di kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang datang ke Acheh harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk mengajar di tengah masyarakat Acheh yang kosmopolit masa itu. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Acheh sebagai "Serambi Mekkah", sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna sebenarnya adalah karena Acheh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara. Tradisi dan peradaban, terutama pemikiran Islam di Acheh sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Acheh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin negara.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw telah berkata: "Sebaik-baik kamu pada zaman jahiliyah, akan menjadi sebaik-baik manusia setelah memeluk Islam". Ini adalah sebuah ungkapan yang telah menjadi kenyataan dalam sejarah kegemilangan Islam yang telah dipimpin Rasulullah saw. Pada zaman pra-Islam, banyak sekali tokoh-tokoh berpotensi, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid yang secara terang-terangan menentang Islam pada awal perkembangannya. Umar sendiri sempat mau membunuh Nabi Muhammad karena dianggapnya sebagai sumber perpecahan masyarakat Mekkah, namun akhirnya masuk Islam setelah membaca lembaran al-Qur’an yang dirampasnya dari adiknya yang sudah lebih dahulu masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Umar adalah salah seorang pembela Islam yang berani dan telah menjadi Khalifah yang menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula dengan Khalid yang sempat memimpin kaum musyrikin melawan Nabi Muhammad sehingga kaum Muslim mengalami kekalahan di perang Uhud. Namun setelah Khalid masuk Islam, akhirnya dia digelar dengan "Pedang Allah" yang telah menumbangkan kekuasaan-kekuasaan besar seperti Romawi dan Parsia.
Masyarakat Arab sendiri sebelum kedatangan Islam adalah masyarakat yang terbelakang dari segi peradaban dan pengetahuan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya, baik Mesir, Rumawi ataupun Persia. Bahkan al-Qur’an sendiri menyebut masyarakat Arab di sekitar Mekkah sebagai Ummiyun, masyarakat yang tidak memiliki peradaban dan kekuasaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa masyarakat Arab di sekitar Mekkah jika terjadi musim kemarau panjang, mereka terkadang menjadi pengungsi dan pengemis di sekitar Kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Habsyah ataupun Parsia. Masyarakat Arab pra-Islam digambarkan sebagai sebuah suku bangsa kecil yang terpecah belah, miskin lagi terbelakang dengan hidup yang berpindah-pindah. Namun berkat Islam, bangsa yang kecil dan tidak diperhitungkan ini, dalam waktu kurang dari 30 tahun sejak kebangkitan Nabi Muhammad, telah menjadi sebuah bangsa besar yang menggetarkan semua super power, dan akhirnya sejarah membuktikan bahwa semua super power itu tunduk kepada masyarakat ummy yang telah mendapatkan pencerahan dan kekuatan spiritualitas dari keagungan nilai-nilai Islam. Selanjutnya umat Islam menjadi mercusuar peradaban manusia, yang menghubungkan peradaban klasik paganis menjadi peradaban modern rasionalis.
Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Acheh. Jika sebelum Islam mereka adalah sebuah bangsa yang sudah berperadaban maju, maka kedatangan Islam akan mendorong lebih kencang kemajuan dan pencapaian peradaban mereka sebagaimana dicatat sejarah. Jika sebelum Islam masyarakat Acheh hanya sebuah kerajaan-kerajaan kecil dibawah perlindungan Kerajaan Hindu seperti Sriwijaya, maka setelah Islam datang menyinari masyarakat Acheh, mereka bangkit menjadi sebuah kekuatan baru yang pada akhirnya menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara. Termasuk menjadi sebab utama tumbang dan lenyapnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, baik di Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua serta sampai di Sulu dan Mindanao yang telah mapan selama ribuan tahun. Pusat Islamisasi Nusantara Acheh digerakkan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam silih berganti yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Dimulai dari berdirinya Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 777 M oleh Sasaniah Salman, yang dilanjutkan perannya oleh Kerajaan Islam Perlak tahun 805 M yang didirikan anak Raja Islam Jeumpa bernama Meurah Syahr Nawi dikembangkan keponakannya Maulana Abdul Aziz Syah dan keturunannya, disambung oleh Kerajaan Pasai pada abad XII yang didirikan keturunan Raja Jeumpa dan Perlak bernama Meurah Silu atau Sultan Malik al-Salih. dan seterusnya yang mulai mendapat kegemilangan pada masa Kerajaan Acheh Darussalam yang menggabungkan semua Kerajaan Islam Acheh, menggapai puncaknya keagungannya pada zaman Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M yang menguasai seluruh pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya serta menjadi pelindung Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya, baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai Sulu-Mindanao.
Demikian pula para Sultan Acheh ikut berperan aktif mendirikan Kerajaan Islam Jawa terbesar, baik Demak, Mataram maupun Banten. Kerajaan Islam Perlak dan Pasai secara teratur dan berkala telah mengirimkan para pendakwah Islam ke tanah Jawa yang digerakkan oleh para ulama keturunan Nabi Muhammad silih berganti. Yang paling terkenal adalah sebuah gerakan Islamisasi dengan nama Wali Sembilan atau Wali Songo yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi) bersama beberapa keluarga dekat dan keponakannya seperti Sunan Ampel, Sunan Drajad, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan lainnya yang memiliki satu jalur keturunan dan bermuara pada Imam Ja’far Sadiq. Penaklukan mereka terhadap Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang dominan masa itu, tidak dilakukan secara perang konfrontatif mengingat kuatnya Majapahit. Penyebaran Islam dilakukan melalui jalur perdagangan, perubahan sosial-budaya, pendidikan, dakwah dan yang paling strategis melalui jalur perkawinan.
Wali Songo mengawinkan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V dengan kader muslimah terbaiknya yang dikenal dengan nama "Puteri Champa", gadis cantik jelita dan cerdas, seorang Puteri Kerajaan Islam Jeumpa Acheh yang juga masih keponakan dari Sunan Ampel, yang ketika itu telah membuka lembaga kaderisasi dan pendidikan di Ampel Surabaya. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putera bernama Raden Fatah, yang sejak kecil sudah diungsikan dari Istana Majapahit dan mendapat pendidikan langsung para Wali Songo, dan dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Sunan Ampel. Ketika dewasa, Raden Fatah diangkat menjadi penguasa lokal di Demak, Jawa Tengah. Setelah menggalang kekuatan dan mendapat dukungan meluas, Wali Songo memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak dan mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan. Sejak saat itu, dimulailah penaklukan demi penaklukan yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan mulai berdiri Kesultanan-Kesultanan Islam. Sementara Syarief Hidayatullah, tidak diragukan berasal dari keturunan keluarga besar Kesultanan Perlak-Pasai yang telah telah mendirikan Kesultanan Banten di Jawa bagian Barat.
Pemikir Islam kontemporer Ismail R. Faruqi. menjuluki muslim nusantara, para pejuang Acheh sebagai "One of the oldest and bloodiest struggle of the Muslims have waged against Christian-Colonialist aggression". Salah satu rumpun bangsa yang paling pertama dan paling berdarah diantara bangsa Muslim dalam menentang agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas sejarah membuktikan hampir 500 tahun lebih masyarakat Muslim Acheh dibawah kepemimpinan para Sultan berperang silih berganti melawan kaum Imprialis-Kolonialis "kaphe" yang hendak menjajah Acheh dan menghilangkan dominasi Islam. Dengan gagah perkasa dan senjata apa adanya mereka bangkit berjihad fie sabilillah melawan tentara-tentara Salib dari Portugis maupun Belanda yang telah memiliki persenjataan modern pada masa itu.
Akhirnya, sejarah kemanusiaan harus mengakui, Acheh dengan segala kegemilangan sejarah peradabannya sejak dahulu kala telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia pada bidangnya masing-masing yang tercatat dalam tinta emas sejarah umat manusia. Nama-nama besar dari Acheh telah menghiasi perjalanan sejarah umat manusia, diantaranya seperti Syahriansyah Salman, Syahri Nuwi, Sultan Malikus Saleh, Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry, Ratu Safiatuddin, Maulana Syiah Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk. Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien dan lain-lainnya
3. Dekonstruksi Teori Islamisasi Acheh Versi Snouck Hourgronje
Sehubungan dengan proses Islamisasi di Acheh, ada beberapa teori yang hingga kini masih sering didiskusikan, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Salah satunya adalah teori masuknya Islam ke Acheh dari Gujarat, disebut juga sebagai Teori Gujarat. Teori ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam di Acheh yang tidak mampu dijajah Belanda. Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dan Islam dengan sangat giat sampai ke Mesir dan Mekkah, mengaku sebagai seorang Ulama Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Teori yang diusung oleh Snouck ini mengatakan Islam masuk ke Nusantara, termasuk Acheh dari wilayah-wilayah di anak benua India seperti Gujarat, Bengali. Ironisnya Teori ini masih dipakai dalam buku-buku sejarah sampai sekarang yang menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck menyebutkan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India. Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck ,yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.
Teori Gujarat yang dikembangkan bahkan dipaksakan Snouck bersama antek-anteknya ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap sejarah dan jati di bangsa Acheh selanjutnya. Pengkerdilan ini telah memutuskan mata rantai spiritualitas keislaman yang telah berurat berakar pada tradisi, budaya dan peradaban Acheh sebagai tapak awal Islamisasi Nusantara. Dampak psikologis yang paling kentara adalah kesan bahwa Acheh adalah salah satu wilayah yang baru tersentuh Islam, yang maknanya bahwa perkembangan peradaban Islam di Acheh baru beberapa abad.
Untuk mendekonstruksi sejarah sekaligus menguak kepalsuan Teori Gujarat yang disampaikan antek penjajah Snouck ini, ada beberapa teori yang ingin penulis sampaikan, diantaranya adalah:
a. Teori Mekkah (Arab)
Salah satu teori Islamisasi Acheh yang paling populer dan memiliki kekuatan fakta adalah teori yang dikembangkan oleh para pakar dan cendekiawan Muslim dan mendapat dukungan di kalangan cendekiawan non Muslim, teori ini di kenal dengan Teori Mekkah (Arab). Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka.
Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Sementara cendekiawan senior Nusantara, SMN. Al-Attas menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Al-Attas menyebutkan bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan "teori umum tentang Islamisasi Nusantara" yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu.
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia.
Hamka dalam pidatonya di acara Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958, melakukan koreksi terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut "Teori Mekah" yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII.
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur.
b. Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles
Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama "Jeumpa". Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek "Jawa". Jeumpa (Champa) biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan "Puteri Champa". Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang pamannya yang dikenal dengan Sunan Ampel di Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh.
Kerajaan Jeumpa Acheh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke "Pintou Rayeuk" (pintu besar.
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 777 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri Poli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Acheh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.
Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Acheh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Acheh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya dan hubungannya dengan Shahri Nawi. Diantaranya syair :
Hamzah ini asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ’ali
Daripada ’Abd al-Qadir Jilani
Hamzah di negeri Melayu,
Tempatnya kapur di dalam kayu
Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Acheh Bireuen saat ini. Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Acheh Darussalam.
Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Acheh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Menurut beberapa data dan analisis yang akan dikemukakan nanti, bahwa hubungan antara Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh berkaitan satu dengan lainnya. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.
c. Teori Hubungan Dagang Arab-Cina
Peter Bellwood dalam Reader in Archaeology Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Dia menulis "Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London....". Sifat perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, "kerajaan-kerajaan kecil" yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut "jalur sutra" (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.
Seringnya terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat, terutama di sekitar di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. "Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi,"
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.
Para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat, misalnya menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak).
d. Teori Barus-Fansur Acheh
Barus-Fansur adalah tempat yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum. Masyarakat pra-Islam telah mengenal kafur yang masyhur itu, hal ini dibuktikan dengan penemuan penggunaan kata kafur yang disebut berkali-kali dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW.
Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir (wafat tahun 1233 M), dan Ibn al-Baladuri (wafat tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, orang-orang Arab menemukan kamper/kafur yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian.
Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli biobibliografi dan ilmu kedokteran dari Andalusia, mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan obat-obatan baru yang belum dikenal sebelumnya sebagai obat, kecuali hanya pewangian dan alat-alat ritual semata di agama-agama paganisme. Ibn Sarabiyun pada abad ke-10 juga mulai memperkenalkan zat yang sangat ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip Ishaq ibn Imran yang hidup awal abad ke-9 M juga melakukan hal yang sama. Ketiganya melalui serangkaian eksperimen yang dilakukan berhasil menjelaskan berbagai fungsi dan kegunaan kafur dengan berbagai campuran untuk khasiat yang berbeda-beda. Fungsinya dalam berbagai bentuk olahan diantaranya adalah, sebagai balsem, penghobatan kandung empedu, radang hati, demam tinggi, berbagai penyakit mata, sakit kepala akibat liver, memperkuat organ dan indra, mengontrol syaraf, pembiusan alami, pendarahan, menguatkan gigi, dan lain-lain.
Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.
Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena menulis: "Jika kafur dipakai sedikit, maka obat ini dapat membantu menenangkan, karena bahan ini dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu badan yang tinggi akibat badan kurang sehat karena lemah. Efek yang menguatkan dan menenangkan ini disertai efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya dikurangi dengan minyak wangi dan pelunaknya, misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga berwarna ungu lembayung. Kafur merupakan penangkal racun, khususnya racun panas. Berkat kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh karena itu kafur menguatkan dan menyenangkan. Efeknya serupa ambar kuning, tetapi lebih kuat dan lebih bermanfaat."
Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga berdatangan untuk meneliti kegunaan kafur dari Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu kedokteran yang ditulis dalam bahasa Persia adalah buku Muwaffak al-Din Abu Mansur Ali al-Harawi (abad ke-10 M), yang berjudul Kitab al-Abniya 'an haqa'iq al-Adwiya [Buku mengenai dasar dan kebenaran obat-obatan asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat al-muta'alimin fi al-tibb (Panduan untuk mahasiswa ilmu kedokteran), al-Bukhori (abad ke-10) seorang mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad ke-9 dan 10 M) berhasil mengembangkan kafur dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31 resep. Salah satunya adalah dalam penanggulanagn penularan penyakit pes.
Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens dalam pengembangan ilmu kedokteran. Salah satu buku yang berhasil ditemukan seperti catatan Actius dari Amide dari abad ke-6 dan ke-7 M, menyebutkan kafur dalam karyanya Libri Medicinales.
Salah satu surat pertama dari riga surat karya al-Kind yang berjudul al-rasail al-hikmiyya fi asrul al-ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum tentang Rahasia-Rahasia Batin], dikatakan bahwa kafur milik Devi Venus dan digunakan dalam pengasapan yang dipersembahkan kepadanya. "Allah Yang Maha Kuasa telah menciptakan Venus dari cahaya dan kecerahan; Venus memberi kebaikan dalam semua posisinya … di antaranya batu maha yang dimilikinya; dalam badan manusia, perut dan usus yang dimilikinya; dalam abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan kaf); di antara bahan murni untuk pengasapan yang dimilikinya terdapat: ambar abu-abu, qust, tanaman fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum."
Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu Malam) oleh Sindbad, sang petualang yang terkenal: "Sesudah bangun keesokan harinya, kami pergi melewati gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang kaya dengan pohon kafur. Setiap pohon dapat membayangi lebih dari 100 orang. Puncak pohonnya ditoreh dan air yang mengalir darinya dapat mengisi beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan tetesannya mirip lem. Sesuadah itu kafur tidak meleleh lagi dan pohonnya menjadi kering." Riha adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti al-Kafur al-Fansuri. Jadi Pulau Riha yang dimaksud adalah daerah Fansur.
Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia.
Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang tinggi,"
Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit" . Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Acheh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka).
Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."
Pada tahun 943, Masudi mencatat: "Kira-kira seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi
'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: "Di Pulau Lamuri terdapat zarafa yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ".... "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri."
Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut. Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325 dalam buku Cowan,"Lamuri," hal. 421.
Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025
Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India
.Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…."
Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei:"Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan.
Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di China.
Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara.
Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, yang katanya: "Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur, porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain."
Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit.
Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: "Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama Pulau Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Acheh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu.
Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: "Terletak di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah. Di laut yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li.
Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Acheh merupakan negara pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar (45) terletak antara Acheh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Acheh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…"
Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Acheh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri".
Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Acheh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini. Sementara Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.
f. Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an
Hubungan erat Acheh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari beberapa kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia yang dapat menyanggah bahwa al-Qur’an dengan segala kemukjizatannya bukan berasal dari Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf seperti Nabi Muhammad dapat membuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung sekalipun. Karena al-Qur’an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undang-undang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan dengan untaian indah. Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan keindahan al-Qur’an. Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab.
Salah satu bahasa Acheh-Melayu yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur. Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Acheh. Bahkan dalam teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-Acheh.
Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan al-Qur’an adalah kapur dari Barus sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .
Kata "kafur", menurut Karel Steenbrink, secara pasti bukan istilah Arab. Akar kata "kafara" bisa berarti menghindari atau tidak berterima kasih. Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus atau kamper, berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan hanya penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan Nusantara, tetapi juga komoditi yang sejak abad ke-7 telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Nusantara .
Dengan terdapatnya kata kafur di dalam al-Qur’an, maka dapat diartikan bahwa daerah penghasil kafur yang paling populer di seluruh dunia, seperti Barus, Fansur, Lamri dan sekitarnya di wilayah Acheh, tentu telah berhubungan erat dengan masyarakat tempat al-Qur’an diturunkan, yaitu masyarakat Arab. Saking populernya kafur dalam masyarakat Arab sebagai sebuah simbol kenikmatan, sehingga dimasukkan sebagai kata dalam al-Qur’an. Jika kita boleh mengambil hikmah dimasukkannya kata kafur ke dalam al-Qur’an, Sang Sumber al-Qur’an mudah-mudahan bermaksud untuk memberi perhatian dan kehormatan pada asal benda ini, Acheh, sebagai kawasan yang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama-Nya. Dan memang sejarah telah membuktikan bahwa Acheh telah menjadi tapak persemaian penting Islam di Nusantara yang telah melahirkan Kerajaan-Kerajaan Islam yang sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi dan menggusur peran Hindu-Budha. Hanya Allah Yang Maha Tahu..........
f. Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman
Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah Umar bin Abdul Azis yang terkenal adil tersebut.
"Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,"
Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi. Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Nusantara. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.
g. Teori Kerajaan Islam Perlak
Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Acheh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
Dari beberapa teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke Acheh sudah terjadi sejak awal perkembangannya, ketika Nabi Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh para saudagar Arab yang memang sudah hilir mudik berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan terletak di ujung barat pulau Sumatera. Para saudagar Arab pra-Islam diketahui sudah memiliki perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang dari Barus-Fansur, Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya.
Islamisasi Acheh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Acheh, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Acheh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Acheh-Melayu dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam.
Hubungan baik antara masyarakat Acheh dengan pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di Acheh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Acheh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.
Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat yang dipopulerkan Snouck bersama antek-anteknya. Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad ke VII Masehi, lebih awal 600 tahun dari yang dikemukakan Teori Gujarat Snouck. Selanjutnya diharapkan para cendekiawan Muslim dapat mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, terutama Acheh sebagai serambi Mekkah.
Rekonstruksi Sejarah Acheh Untuk Kebangkitan dan Kegemilangan Peradaban
Untuk merekonstruksi, menyusun kembali kepingan-kepingan sejarah Acheh yang berserakan, menjadi sebuah gambaran sejarah yang jelas apa adanya bukanlah perkara mudah, mengingat sangat terbatasnya sumber-sumber rujukan yang dapat dipakai. Namun bagaimanapun sulitnya, sebuah penyusunan kembali sejarah sangat penting perannya dalam membangun sebuah jati diri masyarakat yang bercita-cita menggapai kegemilangan kembali seperti masyarakat Acheh. Berdasarkan data dan fakta yang ada, baik premer maupun sekunder, hendaklah mulai disusun sebuah rancang bangun sejarah Acheh yang akan menjadi cerminan masa depan. Karena seperti kata TS. Elliot, masa lalu adalah cermin masa kini yang akan mempengaruhi masa depan. Bagaimana kita akan melihat sosok bangsa dan masyarakat kita, jika cerminnya sendiri tidak ada.
Hal terpenting yang perlu direkonstruksi adalah peran Islam dalam sejarah pembangunan peradaban Acheh. Karena masa depan kegemilangan Acheh terletak sejauh mana komitmen interaksi masyarakatnya dengan Islam. Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa puncak kegemilangan Islam dalam sepanjang sejarahnya adalah ketika para pemimpin yang dalam hal ini diwakili oleh para Sultan sebelum Sultan Iskandar Muda dengan para cendekiawannya, dalam hal ini diwakili oleh Hamzah Fansuri dilanjutkan Syamsuddin Sumatrani mampu membangun sebuah kolaborasi gerakan sinergis dan mampu merumuskan sebuah teologi kebangkitan berdasarkan Islam yang diterapkan kepada masyarakat Acheh sehingga mereka menjadi sebuah masyarakat kosmopolit yang berperadaban, berpengetahuan dan memiliki kemakmuran dan tentunya sekaligus memperoleh keadilan dan keamanan.
Bahwa segala pencapaian kegemilangan peradaban Acheh pada masa Sultan Iskandar Muda adalah sebuah produk dari pemahaman dan penerapan Islam secara benar dan tepat kepada masyarakat. Sama halnya, kebangkitan masyarakat Arab yang tertindas menjadi masyarakat Madani semata-mata karena berdasarkan spirit Islam yang dibawa Rasulullah dan diteruskan Para Khalifah dan pemimpin spiritual. Itulah sebabnya bangsa Arab terpuruk saat ini dan tidak pernah mengalami kebangkitan karena mereka mencampakkan spirit Islam dan menggantikannya dengan faham yang asing bagi tradisi dan dinamika pergerakan masyarakat mereka, baik faham sekulerisme, sosialisme, kapitalisme, nasionalisme dan sejenisnya yang menambah keterpurukan dan keterbelakangan mereka. Inilah pula yang telah menimpa Turki pasca tumbangnya Khalifah yang digantikan Kemal Attaturk dan mengarahkan bangsanya pada sekulerisme. Sampai saat ini bangsa Turki tidak pernah mencapai kemajuannya sebagai masyarakat Barat, karena jiwa mereka bertentangan dengan pola hidup sekuler mereka. Kegersangan jiwa masyarakat inilah yang akhirnya mengantarkan faksi Islam konservatip memenangi pemilihan Presiden ataupun Perdana Menteri.
Pengalaman pahit yang telah menimpa sebagian besar bangsa-bangsa Muslim yang pernah menjadi pusat mercusuar peradaban Islam seperti Mesir, Bagdad, Parsia, Pakistan, Turki dan lainnya, harus menjadi cerminan para pemimpin dan cendekiawan Acheh. Kegagalan demi kegagalan mereka dalam membangkitkan masyarakatnya akibat menerapkan faham yang tidak sesuai dengan jiwa dan nurani masyarakat, jangan diulang kembali pada masyarakat Acheh, cukuplah kita belajar dari kegagalan mereka dan jangan termasuk barisan yang gagal. Sebuah sistem hidup yang sekuler mungkin sesuai dengan masyarakat Barat, baik di Eropa dan Amerika dan terbukti telah mengantarkan mereka menuju renaisans dan menggapai kegemilangan sebagai bangsa yang maju dan makmur. Tapi menerapkan faham sekulerisme dengan segala derivatifnya kepada masyarakat yang telah memiliki akar tradisi dengan Islam, justru akan menghancurkan nilai-nilai rohaniah, sekaligus menimbulkan kerancuan demi kerancuan yang berakibat fatal yang tidak akan pernah mengantarkan masyarakat menuju kebangkitan dan kegemilangannya. Cukuplah kegagalan itu menimpa Mesir atau Turki, jangan diulang pada masyarakat Acheh yang selama ini penuh ujian dan cobaan.
Artinya, jika kita ingin membangkitkan kembali kegemilangan masyarakat Acheh, maka jalan satu-satunya hanya dengan Islam. Islam yang sesuai dengan tradisi, budaya, peradaban, watak, dinamika dan karakter masyarakat Acheh. Bukan penafsiran-penafsiran Islam yang telah mengalami bias masyarakat tertentu yang diimpor darimanapun. Kita membutuhkan Islam yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, Islam yang sesuai dengan masyarakat Acheh, Islam yang telah mengangkat harkat dan martabat nenek moyang mereka dahulu menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah Islam yang dibumikan atas realitas masyarakat Acheh, sebuah Islam ala manhaj Asyi, Islam yang tumbuh atas dasar metode keachehan. Islam yang progresif, dinamis, membebaskan dan mengantarkan menuju kegemilangan sejati.

Daftar Blog Saya